Minggu, 22 Januari 2017

[Cerbung] The Office Boy: PROLOG

Sumber: textgram with modified


PROLOG


Hari telah menunjukkan pukul sembilan malam. Bagi kebanyakan orang, jam segini merupakan waktu berkumpul bersama keluarga, istirahat, tidur, sehingga besok badan kembali fit untuk menjalani aktivitas harian seperti biasa. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku bagiku dan keempat rekan kerjaku yang tergabung dalam Tim Five Star. Karena malam ini adalah waktunya untuk berpesta. Terlebih setelah enam bulan lamanya berkutat dengan proposal pembangunan resort hotel yang rencananya akan dibangun di Kepulauan Seribu, yang merupakan tender dari Kementerian Pariwisata.

Waktu enam bulan itu terbagi atas dua termin. Tiga bulan pertama itu dimulai dari penentuan anggota tim yang akan terlibat dalam tender tersebut–ditunjuk langsung oleh perusahaan, perdebatan dalam penyusunan proposal, hingga kepada presentasi proposal yang akan diajukan. Selanjutnya, tiga  bulan terakhir itulah masa dimana hati senantiasa merasa deg-degan tak karuan menunggu pengumuman hasil akhirnya.

Sebanyak sepuluh perusahaan developer properti ternama yang ada di kota ini mengikuti tender tersebut. Dan setelah penantian panjang disertai pesimisme akut para anggota Five Star, akhirnya siang tadi Pak Bayu mengumumkan hasilnya. Yes, tender itu akhirnya dimenangkan oleh perusahaan kami–PT Triguna Jaya, khususnya oleh Tim Five Star. Semua yang ada dalam ruangan meeting pun bersorak gembira, saling berpelukan, bahkan sampai ada yang meneteskan air mata tanda kelegaan dan kebahagiaan. Usaha selama hampir setengah tahun itu ternyata tidaklah sia-sia.


“Saatnya kini kita berpesta. Yuhuuu...,” seru Ronald dengan suara keras, sehingga membuat keenam pasang mata yang telah kembali dari ruang meeting menatap heran ke arahnya.

“Sadar woi, sadar. Kemaren siapa ya orang yang paling pesimis akan kemenangan Five Star? Mana pakai sumpah serapah segala lagi?” sindir Daniel, selaku si boss. Ia memang sempat sebal saat tak diakui kepiawaiannya dalam memimpin Tim Five Star, terutama oleh Ronald.

“Iya deh, sori sori.” Ronald akhirnya mengaku salah.

“Sudah, sudah. Kok kalian masih saja berseteru, sih?” Cindy, satu-satunya cewek dalam Tim Five Star mencoba melerai. “Yang terpenting saat ini kemenangan telah ada di tangan kita. Sekarang kita tinggal memikirkan gimana caranya merealisasikan apa-apa yang telah tertuang dalam proposal. Ingat, lho, seperti kata Pak Bayu tadi, ini baru permulaan, Guys,” ujar Cindy lagi.

Mendengar omongan Cindy itu, aku segera angkat suara. “Hoam.... Cindy, plis deh. Bisa nggak sih, saat ini kita rehat dulu sejenak dari obrolan soal proposal dan proyek. Kita kan baru saja mendengar tentang kemenangan kita. Apa salahnya kalo sekarang ini kita berpesta dulu kek, sekadar merayakan kemenangan?”

“Yup, gue setuju banget tuh,” Ronald sampai berdiri dari tempat duduknya seraya mengacungkan kedua jempolnya. Membuat yang lain saling pandang. “Siapa yang setuju kita pesta-pesta di kafe malam ini, ikut gue!”

Hening menyergap. Kulihat Ronald mulai sibuk membereskan barang-barang yang ada di meja kerjanya. Kemudian serunya, “Ayo, Sal, tunggu apa lagi?”

“Lho, ini benaran mau pada pergi pesta? Ke mana?” tanya Aldo–lelaki berkacamata minus dan paling pendiam di antara anggota Five Star lainnya. Ia menatap bingung ke arah kami berempat. Tapi pertanyaannya itu segera dijawab oleh Daniel.

“Oh, ya sudah, ayo kita pergi!”

Cindy pun mengacungkan tangan. “Tunggu dulu. Gue ikutan juga, nih?” Ia menunjuk dadanya.

“Kalo lu merasa masih bagian dari Five Star, ya ikutlah,” sungutku, menanggapi pertanyaan Cindy.


Dan di sinilah kami kini. Di sebuah kafe yang berada tak jauh dari kantor. Sebuah kafe yang terkenal sebagai tempat hang out kawula muda kota ini. Suara musik hip hop yang menggema di setiap sudutnya menambah semarak kafe malam ini.



“Kenapa kita ke sini, sih?” keluh Aldo yang memang tidak pernah suka suasana hingar-bingar seperti di kafe ini. Mulutnya pun mengerucut saking kesalnya.

“Ya, ampun, Do. Rileks dikit kenapa? Menikmati kemenangan kita dengan sedikit kemeriahan itu apa salahnya, sih?” ujarku sambil merangkul bahunya. Tapi Aldo hanya bergeming. Tangannya malah sibuk membolak-balik buku menu yang disodorkan oleh seorang waitress yang datang ke meja kami.

“Hm, saya pesan bir kalengan tiga, ya, Mbak?” ujarku lantang kepada waitress yang masih setia berdiri menunggu pesanan kami.

Mendengar pesananku, kontan Aldo dan Cindy saling pandang.

“Sal, elu kan bawa mobil sendiri? Apa nggak pengaruh tuh bir saat lu berkendara?” protes Aldo.

“Alah, lu, Do. Takut amat. Faisal kan cuma pesan bir kalengan. Nggak bakal mabok lah.” Ronald membelaku. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala, tanda setuju. Kulihat Aldo langsung diam dan kembali sibuk dengan buku menu di hadapannya.

“Ada yang pesan makanan nggak?” Daniel menawarkan opsi.

“Pesan french fries saja. Kan tadi kita semua sudah pada makan di kantor,” putus Cindy akhirnya.

Kemudian Ronald menyela, “Tambah puding dan cup cake juga dong....”

Mendengar pesanan Ronald, kontan aku tertawa. “Hahaha... Ronald, Ronald. Minumannya bir, masa camilannya puding? Nggak seru amat, ah!”

“Biarin. Sirik amat lu!” Ronald mencibir. Tapi tawaku yang masih juga belum reda malah membuat Cindy mendelik.

“Sudah, sudah,” Cindy menatapku sengit. Kemudian pandangannya beralih ke arah waitress, “Oke, Mbak. Kami pesan french fries-nya tiga ukuran large, puding pelanginya lima, sama cup cake cokelat dua saja.”

Waitress tampak sibuk mencatat pesanan kami. Dan setelah dirasa tidak ada lagi pesanan tambahan, ia pun berlalu dari meja kami.

***

Dua jam lamanya kami menghabiskan waktu di kafe itu. Berbincang-bincang sambil menyantap aneka camilan dan minuman yang dipesan tadi benar-benar membuat kami rileks. Sejenak kami memang melupakan proyek pembangunan resort hotel yang baru saja kami menangkan tendernya siang ini. Ya, malam ini kami benar-benar ingin rileks. Menikmati alunan musik kafe mulai dari yang berirama hip hop menghentak-hentak hingga kepada alunan musik slow nan syahdu bagai pengantar tidur.

Saat jam di pergelangan tangan Cindy menunjukkan pukul sebelas malam, gadis itu segera saja mengingatkan.

Guys, sudah jam sebelas, nih. Yuk, kita cabut. Besok kan kita masih harus kerja. Belum lagi meeting persiapan menuju ke lokasi resort yang akan dibangun. Hoam, gue juga sudah ngantuk, nih.”

“Dasar cewek. Baru juga jam sebelas sudah ngantuk saja bawaannya,” sungutku seraya meneguk sisa bir yang ada dalam kaleng kedua.

Cindy mendelik. Ia hampir saja hendak mencengkeram tanganku saking kesalnya, kalau saja tak segera dicegah sama Daniel.

“Sudah, yuk, Cin. Gue antar lu pulang sekarang. Kalo memang mereka masih pada betah di sini, biarin aja.” Daniel bergegas berdiri dan mengambil tas sandangnya, kemudian melingkarkan tasnya itu lewat leher ke samping kanan. “Teman-teman, gue dan Cindy pulang duluan, ya,” pamit Daniel, akhirnya.

Melihat Daniel begitu, Cindy pun segera mengikuti tindakan Daniel. Merapikan blus putih renda-renda dan rok hitam span selututnya, kemudian mengambil hobo bag-nya dan berjalan di belakang Daniel yang telah lebih dulu meninggalkan meja tempat kami duduk.

Dan sepuluh menit pasca kepergian Daniel dan Cindy, tampak Aldo pun sudah mulai menguap.

“Elu mau pulang juga, Do?” tanyaku ke Aldo. “Memang berani pulang sendiri?”

Aldo tampak melotot mendengar candaku barusan. Kemudian berdiri dan mengenakan jaket kulitnya. Ya, sehari-hari Aldo kuperhatikan memang lebih nyaman dengan motor sport-nya dibandingkan harus repot-repot membeli mobil kreditan seperti diriku.

Tak lama kemudian...

“Gue juga pulang, ah.” Tiba-tiba Ronald pun mulai angkat kaki dari kafe.

Kini hanya tinggal aku sendiri di kafe ini. Jam di smartphone-ku telah menunjukkan hampir midnight. Bir pada kaleng ketiga yang sudah terlanjur kupesan pun ternyata masih juga belum habis. Ah, daripada mubazir, akhirnya kuteguk cepat bir tersebut hingga tandas.

Usai menghabiskan ketiga bir kalengan itu, aku pun mulai berdiri untuk pulang. Saat berdiri itulah mulai kurasakan kepalaku yang berdenyut cepat. Pandangan mataku yang sedikit mengabur. Pun jalanku yang agak sempoyongan.

Tapi semua itu sama sekali tak kupedulikan. Aku terus berjalan menuju pintu depan kafe sambil sesekali memegangi kepalaku. Tujuanku sudah jelas, ke tempat parkiran dimana mobil sedanku berada.

Sambil berjalan sempoyongan, akhirnya sampai pula aku di dekat mobilku. Segera kutekan remote untuk membuka mobil dan naik ke atas tempat duduk di depan kemudi.

Sebelum melajukan mobil, kuhirup napas berkali-kali. Kucoba menegakkan kepala yang agak berat dan membuka mata lebar-lebar. Dan saat aku menginjak gas dan memasukkan gigi satu, tiba-tiba saja...

Bruk!

Dan aku pun mulai tak sadarkan diri.

***

Selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[Coretan] Pemutaran Perdana Film Dilan 1990: Satu Studio Full, Tak Ada Kursi yang Tersisa

Poster Film Dilan 1990 (Sumber: bioskoptoday.com) Kamis lalu (25/01/2018) merupakan pemutaran perdana film Dilan 1990 di seluruh bios...